pemula candi plaosan dalam perspektif sketsa is jogja, gambar perspektif rumah kumpulan gambar rumah, gambar bangunan sederhana beriokto blogspot com, proses perancangan pada bangunan inkremental dalam, frank o gehry himaartra, paul rudolph theory of contemporary architecture, desain eksterior 2 titik lenyap
Web server is down Error code 521 2023-06-16 135117 UTC What happened? The web server is not returning a connection. As a result, the web page is not displaying. What can I do? If you are a visitor of this website Please try again in a few minutes. If you are the owner of this website Contact your hosting provider letting them know your web server is not responding. Additional troubleshooting information. Cloudflare Ray ID 7d8386d80d6706d0 • Your IP • Performance & security by Cloudflare
jawabanyang benar adalah d. punden berundak Untuk lebih jelasnya, yuk simak penjelasan berikut. Punden dalam bahasa Jawa artinya orang yang dimuliakan sehingga punden berundak adalah bangunan suci yang bentuknya bertingkat-tingkat atau berundak-undak. Pada mulanya punden berundak digunakan sebagai tempat pemujaan leluhur.
Sebagai umat Hindu dalam melaksanakan persembahyangan kita menghadaf ke arah bangunan yang disebut dengan padmasana, yaitu simbol tempat melinggihnya Sang Hyang Widhi dihadapan uiriat-Nya. Bangunan Padmasana berbentuk seperti tugu, bagian bawah terdapat hiasan kura-kura yang dililit oleh 2 ekor naga, di bagian tengah dihias dengan ukir-ukiran yang milah dan seringkaii dilengkapi dengan arca-arca di setiap sudutnya. Sedangkan - di bagian atas berbentuk kursi dengan bagian sandaran tangannya dihias dengan 2 ekor naga. Dari sisi sejarah, agama Hindu dan Budha juga pernah berkembang dan menjadi agama bangsa Indonesia pada abad IV-XV. Bukti keberadaan agama Hindu dan Budha di Indonesia ditandai dengan peninggalan-peninggalan yang berupa candi, prasasti, arca batu, arca perunggu, alat-alat upacara, dan sebagainya. Dalam hal ini bangunan' candi merupakan tempat peribadatan umat Hindu dan Budha pada masa itu. Bangunan candi tersusun dari batu andesit, batu putih, atau batu bata. Di dalam tubuh candi terdapat bilik yang sempit, tempat arca dewa atau lingga-yoni ditempatkan. Bila kita perhatikan bentuk arsitektur candi dengan arca dewa atau lingga-yoni di dalam biliknya sebagai obyek pemujaan, maka akan kita temui perbedaan yang sangat menyolok dengan bentuk padmasana pada masa kini. Tentu ada mata rantai sejarah perkembangannya sejak mulai dari berbentuk candi hingga sampai ke bentuk padmasana ini? Istilah candi berasal dari bahasa Sansekerta candika grha. Candiku adalah salah satu dari nama-nama Dewi Durga dalam wujudnya sebagai Dewi Maut, sedangkan grha berarti rumah atau kuil. Jadi candika grha berarti kuil Dewi Durga. Meskipun demikian dalam kenyataannya tidak ada satu pun candi di Indonesia yang benar-benar hanya diperuntukkan bagi Dewi Durga. Bahkan istilah Candi juga digunakan untuk semua tempat bangunan peninggalan peribadatan agama Hindu maupun Budha. Perbedaannya adalah, candi-candi Hindu berisi lingga-yoni atau arca-arca dewa Hindu, sedangkan candi-candi Budha berisikan arca Sang Budha. Arca Dewa Siwa, Dewa Agastya Siwa Mahaguru, dan Dewa Ganesha. Komposisi ini dapat kita lihat pada candi induk Komplek Candi Pram-banan, di mana Arca Dewa Siwa^ terdapat pada bilik utama, Dewi Durga pada bilik sisi utara, Dewa Agastya pada sisi selatan, dan Dewa Ganesha pada sisi barat. Sebelum masuknya agama Hindu dan Budha, Bangsa Indonesia telah mengenal kepercayaan asli, yaitu pemujaan kepada roh nenek moyang. Sarana untuk pemujaan kepada roh nenek moyang adalah dengan menggunakan batu-batu besar yang disusun membentuk komposisi tertentu, sehingga jaman ini dikenal dengan tradisi megalitik atau tradisi batu besar mega besar, litluk. batu. Benda-benda peninggalan jaman megalitik antara lain adalah batu menhir, dolmen, sarkofagus, peti kubur batu, dan punden berundak. Di dalam tradisi megalitik terdapat kepercayaan bahwa roh nenek moyang bersemayam di tempat-tempat yang tinggi, seperti pegunungan, dataran tinggi, dan bukit-bukit. Hal ini menyebabkan bangunan-bangunan dari jaman megalitik, khususnya punden berundak, terletak di tempat yang tinggi. Denah halaman bangunan punden berundak tersusun ke belakang dengan kedudukan semakin ke belakang semakin tinggi. Halaman paling belakang dianggap yang paling suci karena letaknya paling dekat dengan puncak gunung, pegunungan, atau bukit. Tradisi megalitik Bangsa Indonesia pada saat itu masih berada dalam jaman prasejarah karena belum mengenal tulisan. Jaman prasejarah di Indonesia berakhir setelah masuknya pengaruh kebudayaan India pada sekitar awal abad IV masehi. Dengan masuknya pengaruh India, kebudayaan bangsa Indonesia mulai mengalami perubahan besar, yaitu mulai mengenal tulisan, timbulnya sistem pemerintahan kerajaan, serta mengenal sistem keagamaan yang baru. Sistem keagamaan baru yang berasal dari India itu adalah agama Hindu dan Budha. Awal masuknya jaman sejarah di Indonesia ditandai dengan ditemukannya 7 buah Prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur, yang berasal dari abad IV Masehi, yang menyebutkan adanya Kerajaan Kutai. Di samping itu di Jawa Barat ditemukan beberapa buah prasasti, antara lain Prasasti Kebon Kopi, Pasir Awi, Jambu, Ganten, Tugu, Lebak, dan Muara Cianten yang berasal dari abad IV - V Masehi yang menyebutkan adanya Kerajaan Tarumanegara. Dari kedua kerajaan tersebut belum ditemukan peninggalan yang baerupa bangunan candi Peninggalan bangunan candi baru muncul pada masa Kerajaan Mataram Hindu yang berpusat di Jawa Tengah dan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Sumatera, sekitar abad VII-VIII Masehi. Setelah agama Hindu masuk dan berkembang di Indonesia, Bangsa Indonesia mulai mengenal pemujaan kepada dewa-dewa Hindu, seperti Brahma, Wisnu, Siwa, Durga dan sebagainya. Tradisi pemujaan kepada dewa-dewa yang berasal dari India tersebut diwujudkan dalam bentuk arca-arca dewa dari batu atau batu-bata, yaitu bangunan yang sekarang kita sebut sebagai candi. Arca-arca dewa di dalam bilik candi diwujudkan dalam posisi berdiri atau duduk di atas lapik batu berbentuk bunga teratai yang disebut padmasana. Padmasana berasal dari kata padma yang berarti bunga teratai dan asana yang berarti tempat duduk. Jadi padmasana di dalam konteks bangunan candi berarti adalah tempat duduk berbentuk bunga teratai. Berdasarkan temuan arkeologis di Indonesia, dewa utama yang paling sering diarcakan di dalam candi adalah Dewa Siwa. Sedangkan dewa-dewa lainnya, seperti Dewa Wisnu, Brahma, Durga, dan Agastya Siwa Mahaguru tidak dicandikan tersendiri, melainkan merupakan bagian dari komplek percandian yang melengkapi keberadaan Dewa Siwa. Hal ini memperkuat pendapat bahwa aliran Hindu yang masuk ke Indonesia adalah aliran Siwaistis atau Siwasidhanta. Di samping candi-candi yang berisikan arca dewa, terdapat juga candi-candi yang berisikan lingga-yoni, yang merupakan lambang penyatuan Dewa Siwa dan Dewi Parwati. lingga adalah batu berbentuk silindris menyerupai alat kelamin laki-laki, dipasangkan secara vertikal di atas yoni. Sedangkan yoni berbentuk segi empat dan bagian atasnya datar dengan sebuah cerat pada salah satu sisinya yang menyerupai alat kelamin perempuan. Dalam hal ini lingga merupakan lambang unsur laki-laki dan yoni merupakan lambang unsur perempuan, sehingga penyatuan keduanya menghasilkan kesuburan. Di samping itu lingga juga merupakan lambang dari penyatuan Brahma, Wisnu, dan Siwa. Bentuk lingga ini terdiri dari 3 bagian, paling bawah berbentuk segi empat, lambang Brahma; bagian tengah berbentuk segi delapan lambang Wisnu; dan bagian atas berbentuk bulat, lambang Siwa. Candi-candi Hindu yang mula-mula berkembang di Indonesia menunjukkan perpaduan tradisi megalitik dengan pengaruh budaya India, yaitu bahwa tidak hanya roh nenek moyang, tetapi dewa-dewa juga bersemayam di tempat-tempat yang tinggi, sehingga candi-candi tersebut dibangun di dataran daerah dataran tinggi atau pegunungan. Misalnya komplek Candi Gedongsongo di kaki Gunung Ungaran dan Komplek Candi Dieng di dataran tinggi Dieng. Candi-candi ini tidak memiliki denah halaman yang jelas, dan terletak saling berpencar satu sama lain. Dalam hal ini tampak perpaduan konsep antara India dan Indonesia, yaitu bahwa bangsa Indonesia sudah menggunakan arca dewa sebagai pusat orientasi pemujaan, namun juga masih menggunakan orientasi gunung sebagai tempat tinggal roh-roh nenek moyang dan dewa-dewa tersebut. Candi-candi dengan pola tersebaran di pegunungan ini pada umumnya dibangun di daerah Jawa Tengah bagian utara, sehingga para ahli arkeologi menyebutnya Periode Jawa Tengah bagian Utara. Pada pertengahan masa Kerajaan Mataram Kuno, pengaruh India semakin menguat. Pusat orientasi pemujaan sudah tidak lagi mengarah ke gunung, tetapi pada arca-acra dewa di dalam bilik dewa dianggap sebagai pusat kosmis dan pusat orientasi pemujaan, sehingga komplek candi yang dibangun pada masa itu mempunyai denah berbentuk bujur sangkar atau persegi panjang dengan pola memusat, yaitu- halaman yang dianggap paling suci terletak di tengah. Pusat orientasi pemujaan ada candi induk yang berada di halaman pusatnya, misalnya Komplek Candi Plaosan Lor, dan Komplek Candi Ngawen. Pembangunan komplek percandian juga harus didasarkan pada aturan-aturan dalam kitab Vastupurusamandala vastu situs, tempat; purusa segala hakekat/jiwa dari alam semesta; dan mandala wilayah yang telah disucikan karena digunakan sebagai tempat dari segala hakekat alam semesta. Wujud paling sempurna dari penggunaan aturan Vastupurusamandala berarti suatu wilayah yang telah disucikan karena digunakan sebagai tempat dari segala hakekat alam semesta. Wujud paling sempurna dari penggunaan aturan Vastupurusamandala terlihat pada ketepatan garis diagonal halaman serta kesejajaran penyusunan candi-candi perwara yang mengelilingi candi induknya. Di samping itu berdasarkan perhitungan arah menurut kompas, arah hadap candi juga benar-benar persis menghadap ke timur. Candi-candi dengan pola memusat pada masa Mataram Hindu ini pada umumnya dibangun di daerah Jawa Tengah bagian selatan, sehingga lazim disebut Periode Jawa Tengah bagian Selatan. Pada masa Kerajaan Mataram Hindu, tampaknya perbedaan ajaran antara agama Budha dan Hindu tidak terlalu dipermasalahkan oleh pemeluknya sendiri. Hal ini tampak pada banyaknya candi Hindu dan Budha yang terletak saling berdekatan satu sama lain di daerah Prambanan, seperti Candi Sambisari, Prambanan, Barong, dan Ijo berorientasi pada arah timur-barat, tetapi berubah menjadi membelakangi gunung. Perubahan dari denah konsentris menjadi denah tersusun ke belakang ini mulai tampak pada Candi Jago di Malang. Candi ini memiliki 3 tingkatan kaki candi. Tingkat ketiga dan bagian tubuh candi terletak pada bagian paling belakang. Hal ini menunjukkan munculnya kembali konsep-konsep pada bangunan prasejarah, yaitu punden berundak dan pemujaan roh nenek moyang. Munculnya kembali tradisi pemujaan roh nenek moyang menyebabkan praktik agama Hindu dan Budha pada waktu itu sedikit demisedikit mulai menyatu dan mulai tidak dibedakan lagi oleh para pemeluknya. Penyatuan unsur-unsur agama Hindu dan Budha ini ditandai dengan beberapa orang raja yang setelah meninggal dicandikan dibuatkan candi sebagai tempat pemujaan kepadanya, di dua tempat, yaitu sebagai Siwa Hindu dan Buddha. Raja-raja yang dicandikan baik sebagai Siwa maupun Budha adalah Ken Arok Rajasanegara, Kertanegara, Raden Wijaya Kertarajasa, Jayanegara, dan sebagainya. Sehingga dalam masa-masa selanjutnya antara agama Hindu dan Budha sudah tidak dapat dikatakan sebagai agama yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan sudah menjadi satu kesatuan yang disebut Siwa-Budha. Di samping denah bangunan candi kembali ke konsep punden berundak, arca-arca di dalam bilik candi pun mulai menyimpang dari kaidah pembuatan arca dewa di India. Bila arca di candi-candi periode Jawa Tengah bagian selatan dibuat sedemikian realistis agar tampak hidup, maka arca-arca dewa di dalam bilik candi di Jawa Timur tampak kaku menyerupai mummi atau mayat. Menurut para ahli ahli arkeologi, wajah dewa atau dewi di dalam candi tidak sama dengan wajah dewa sebagaimana yang digambarkan pada periode Jawa Tengah karena cenderung dibuat mirip dengan wajah raja atau ratu yang telah meninggal, Arca-arca di dalam bilik candi bukan lagi semata-mata sebagai arca dewa, melainkan sebagai wujud roh nenek moyang yang telah menjadi satu dengan dewa-dewa, yang diwakili oleh sosok seroang raja/ratu yang telah mangkat. Pada saat itu mulai berlaku konsep dewa raja, yaitu raja atau ratu yang meninggal dibuatkan tempat peringatan berupa bangunan candi dengan arca perwujudan raja/ratu sebagai dewa/ dewi di dalamnya. Seperti Mahendradata Gunapriyadharmapatni yang diwujudkan sebagai Dewi Durga di Gianyar, Bali; Airlangga yang diwujudkan sebagai Dewa Wisnu yang naik Garuda di Candi Belahan, Mojokerto; Ken Dedes permaisuri Ken Arok, pendiri Kerajaan Singosari yang diwujudkan sebagai Dewi Prajna-paramitha, Kertanegara yang diwujudkan sebagai Aksobhya, dan sebagainya. Dengan demikian kepercayaan kepada dewa-dewi dalam agama Hindu dan Budha yang berkembang menjelang abad XV bersinkretis dengan konsep pemujaan roh leluhur dari tradisi megalitik, sehingga memunculkan aliran baru yang merupakan perpaduan antara agama asli Bangsa Indonesia yang berorientasi pada pemujaan roh leluhur dengan agama Hindu-Budha yang berorientasi pada pemujaan dewa-dewa kosmis. Pembuatan arca perwujudan raja/ratu sebagai dewa/dewi di dalam bilik candi pada masa Jawa Timur bukanlah adat kebiasaan agama Hindu dan Budha untuk memudahkan pengertian, selanjutnya disebut agama Hindu saja yang berasal dari India. Sebaliknya upacara-upacara pemujaan kepada raja/ratu yang telah meninggal itu merupakan adat kebiasaan Indonesia yang diberi bentuk kehinduan sebagai usaha meningkatkan pengertiannya agar sesuai dengan keadaan yang telah berubah karena pengaruh Hindu. Maka dasar upacaranya tetap bersifat Indonesia, sedangkan dari segi agama Hindu tidak bertentangan konsep ajarannya yang bersifa-t Hinduistis dan Candi Sewu, Kalasan, Sari, Sofogedug, Sojiwan, dan Plaosan yang bersifat Budhistis. Bahkan candi Hindu dan Budha yang terbesar, yaitu Komplek Candi Prambanan yang bersifat Hindu dan Komplek Candi Sewu yang bersifat Budha didirikan berdampingan. Masih pada masa Kerajaan Mataram Hindu, pada masa yang lebih kemudian antara kedua agama tersebut terjadi pemaduan unsur-unsur kebiasaan di kalangan penganutnya. Hal ini mulai tampak pada Komplek Candi Plaosan Lor, di mana arca-arca di dalam candi induknya bersifat Budha, tetapi atribut-atribut yang dikenakannya sudah mulai bercampur dengan unsur-unsur Hindu. Demikian pula dengan candi perwaranya. Di Kompleks Candi Plaosan Lor, sebagian besar candi perwara-nya mempunyai atap berbentuk stupa, tetapi, terdapat pula candi-candi perwara yang mempunyai atap berbentuk ratna yang merupakan ciri khas candi yang bersifat Hindu. Pada abad X pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Hindu dipindahkan ke Jawa Timur dan berakhir pada masa pemerintahan Mpu Sindok. Setelah Kerajaan Mataram hindu runtuh dan kemudian secara berturut-turut digantikan oleh kerajaan-kerajaan lain, seperti Kediri, Daha, Singosari, dan Majapahit. Di Jawa Timur candi-candi mulai dibangun dengan ketentuan yang menyimpang dari konsep Vastupurusamandala. Bila candi-candi di Jawa Tengah bagian Selatan semula berdenah konsentris dengan halaman paling dalam adalah yang paling suci, maka pada periode Jawa Timur, denah candi berubah menjadi tersusun ke belakang kembali, yang mana halaman paling belakang merupakan bagian yang paling suci. Arah hadap candi juga tidak lagi seiring dengan perkembangan jaman, sejak, melemahnya Kerajaaak Majapahit menjelang akhir abad XVI agama Islam mulai menggantikan posisi agama Hindu di Jawa. Pemeluk Hindu semakin terpinggirkan dari tanah Jawa dan hanya bertahan di Bali. Sejak itu candi-candi di Jawa menjadi rusak dan terbengkalai karena boleh dikatakan sudah tidak ada lagi penganutnya. Suatu hal yang barangkali menjadi aneh bagi kita adalah, mengapa di Bali tradisi menggunakan bangunan candi sebagai tempat pemujaan menjadi hilang, walaupun di Bali sendiri memiliki banyak peninggalan bangunan candi, seperti Candi Gunung Kawi, Candi Tebing Tegallingga, Candi Stupa Pegulingan, dan sebagainya. Di Bali mungkin kita sudah tidak menemukan lagi bangunan candi yang masih digunakan sebagai tempat pemujaan. Sebagai gantinya kita bersembahyang di dalam pura yang di dalamnya terdapat berbagai macam bangunan seperti padmasana, meru, prasada, atau pelinggih-pelinggih lainnya. Namun kita masih dapat melihat keterkaitan antara bangunan pura dengan komplek percandian pada Periode Jawa Timur, yaitu dari denah halamannya yang tersusun ke belakang. Di dalam halaman utama mandala, kita memang sudah tidak menemukan bangunan candi lagi, namun di sana akan menjumpai bangunan berbentuk meru atau prasada. Meru adalah bangunan yang terbuat dari kayu dengan atap dari ijuk berbentuk semacam payung segi empat yang bertingkat-tingkat. Sedangkan prasada adalah bangunan pejal yang terbuat dari batubata, namun beratap ijuk atau kayu. Atapnya tidak bertingkat-tingkat seperti halnya meru. Keduanya memiliki persamaan dengan candi, yaitu terdapat rongga bilik di dalamnya. Namun di dalam bilik tersebut tidak terdapat arca dewa atau lingga yoni. Sebagai gantinya, di dalamnya terdapat benda-benda suci yang merupakan wakil dari dewa atau leluhur yang disthanakan seperti pratima, peripih, atau pedagingan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bukan tradisi pemujaan kepada dewa atau roh leluhurnya yang berakhir, tetapi tradisi membuat bangunan candinya-lah yang berakhir. Tradisi membuat bangunan candi digantingan dengan membuat bangunan berbilik dari kayu yang disebut dengan meru atau dari batu bata yang disebut dengan prasada. Konsep dasar pemujaan kepada dewa atau roh leluhur itu sendiri tetap tidak berubah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tradisi pembuatan bangunan candi pada masa lampau di Bali telah berubah menjadi meru dan prasada. Peralihan dari bentuk candi ke bentuk meru sebenarnya sudah mulai tampak pada Komplek Candi Panataran di Blitar, yang dibangun sekitar abad XIV, yaitu pada candi induknya yang hanya terdiri dari bagian kaki, tanpa tubuh dan atap. Bagian tubuh dan atapnya sudah tidak ada, namun juga tidak ditemukan sisa-sisa dinding bangunannya. Di samping itu di bagian lantai kaki candi tersebut terdapat beberapa umpak yang menunjukkan bahwa dahulu terdapat tiang atau atap yang terbuat dari kayu. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa bentuk-bentuk candi dari masa Hindu-Budha di Bali sudah berubah menjadi meru dan prasada. Yang menjadi pertanyaan kembali adalah, bagaimana dengan sejarah timbulnya padmasana seperti yang kita kenal sekarang? Sebagaimana telah dijelaskan di atas, padmasana semula adalah sebagai tempat duduk atau berdirinya arca dewa di dalam bilik bangunan candi di Jawa. Semenjak kedatangan Dang Hyang Nirartha di Pulau Bali pada akhir abad XVI, penggunaan arca-arca dewa mulai dihilangkan. Hal ini dikarenakan sejak kedatangan Dang Hyang Nirartha, arca-arca perwujudan dewa diganti dengan wujud banten, misalnya ajuman, daksina, canangsari, tumpeng, dan lain-lain. Mungkin pula tradisi ini timbul sebagai akibat dari kedatangan agama lain, khususnya di Jawa, yang secara ekstrim menentang dan berusaha menghancurkan segala bentuk pemujaan yang menggunakan media arca. Agar tidak kehilangan makna dalam melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Widhi, maka media arca ini diganti dalam bentuk banten yang sifatnya sementara. Dalam perkembangannya, untuk meletakkan banten ini, dibuatlah pelinggih-pelinggih, baik yang bersifat sementara maupun permanen. Pelinggih yang bersifat permanen dibuat dalam bentuk seperti tugu dengan singgasana di atasnya, yang sekarang kita sebut dengan padmasana ini. Tentunya akan timbul pertanyaan bahwa mengapa bentuk padmasana yang kita kenal sekarang ini berbeda jauh dengan bentuk padmasana pada tempat duduk/berdiri arca di dalam bilik candi? Di dalam agama Hindu, Sang Hyang Widhi merupakan penguasa atas Tribhuwana, yaitu alam bhur, bwah, dan swah. Oleh karena itu untuk menggambarkan Kemahakuasaan Beliau diwujudkanlah bentuk bangunan seperti tugu yang menggambarkan ketiga dunia ini. Lalu mengapa disebut dengan padmasana? Mungkin istilah ini berasal dari pesimpenan Pancadatu atau pedagingan yang ditanam, baik di dasar, di tengah, maupun di atas bangunan tersebut. Di Bali banten pedagingan diletakkan di atas alas banten yang disebut lamak, yang terbuat dari daun enau. Lamak itu sendiri merupakan perwujudan dari bunga teratai atau padma. Pedagingan di puncak bangunan disebut dengan padma mas. Disebut dengan padma mas ini tidak tampak dari luar karena ditanam di dalam singgasana padmasana yang berbentuk persegi empat. Karena padma mas ini terletak di dalam singgasana yang merupakan tempat melinggihnya Sang Hyang Widhi Wasa, maka keseluruhan bangunan ini disebut dengan padmasana. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tradisi pembuatan bangunan candi tetap berlanjut dalam bentuk pembuatan meru dan prasada. Sedangkan padmasana muncul sebagai perkembangan dari bentuk pelinggih yang bersifat permanen, yaitu untuk memuja Sang Hyang Widhi yang kehadiran-Nya diwujudkan dalam bentuk banten. Source Budiana Setiawan l Warta Hindu Dharma NO. 437 Juli 2003 Senibangunn yang menjadi dasar pembuatan candi adalah Punden Berundak. Punden berundak merupakan benda peninggalan Megalithikum, berupa batu yang ditumpuk-tumpuk (bertingkat) dan berfungsi sebagai tempat pemujaan. quarterfreelp dan 118 orang menganggap jawaban ini membantu. heart outlined. Terima kasih 71. star. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. AbastrakSebagai negara yang besar, Indonesia sebagian besar wilyahnya berupa lautan. Selain itu besar penduduknya bersifat multidimensional. Dengan beragam suku, ras, agama, budaya dan banyak sekali tempat tempat sejarah didalamnya. sesuatu yang harus kita jaga, hormati. dan dilestarikan, keharmonsiannya dalam Bhineka Tunggal Eka. Tentunya dengan keberagamannya terjadi suatu interaksi yang saling mengisi ataupun dapat mempengaruhi terbentuknya suatu budaya lokal. Dengan kata lain masuknya Hindu Buddha diwilayah Nusantara membawa bentuk pola interaksi dan mengalami proses akulturasi dari segi bahasa, budaya dan juga perilaku yang menyebabkan agama Hindu Buddha yang diwilayah Nusantara berbeda dengan dinegara india. Artikel ini membahas tentang “Akulturasi Budaya Hindu Buddha di Candi Borobudur”. Artikel ini bertujuan untuk menambah wawasan untuk penulis maupun yang membacanya. Untuk mengetahui corak budaya Hindu Buddha di Candi borobudur. Dalam pembuatan artikel ini penulis menggunakan metode observasi. Hasil penulisan artikel ini berupa akulturasi yang artinya perpaduan dua budaya yang berbeda yang tidak menghilangkan unsur-unsur dari budaya lama. Diartikel ini penulis membahas tentang budaya Hindu Buddha yang terdapat di Candi Borobudur berupa bentuk bangunannya. Candi Borobudur adalah bentuk bangunan bersejarah yang ada di Indonesia, dan banyak mengandung nilai nilai sejarah maupun warga lokal atau internasional yang ingin menikmati keindah alam sekitarnya, sekaligus ingin mengetahui berbagai macam budaya yang terdapat di Candi borobudur. Pendahuluan A. LATAR BELAKANG MASALAH Akulturasi adalah pertemuan antara dua budaya yang berbeda, sehingga unsur budaya yang memiliki pengaruh lebih besar dapat dilihat dalam kebudayaan yang menerima, meskipun budaya telah di padukan oleh masyarakat yang menerima budaya tersebut. . Perpaduan antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda yang memberi pengaruh satu sama lain atau tahap masuknya budaya asing yang memberi pengaruh dalam masyarakat, kemudiansetengah dari unsur budaya yang masuk dapat menyerap dalam skala kecil atau bahkan besar disebut dengan akulturasi. Agama adalah sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh setiap umat manusia, sistem budaya, serta pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan perintah-Nya. Sedangkan menurut Etimologi adalah sistem yang mengatur tata kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan yang maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungannya. Fakta tentang proses interaksi masyarakat Indonesia sebagai daerah yang di lalui jalur perdagangan memungkinkan bagi para pedagang India untuk sungguh tinggal di kota pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Mereka pun melakukan interaksi dengan penduduk setempat di luar hubungan dagang. Masuknya pengaruh budaya Hindu-Buddha di Indonesia dapat dibedakan menjadi 2 Awal abad V-XI M Pada periode ini, unsur Hindu-Buddha lebih kuat dan lebih terasa serta menonjol unsur/ciri-ciri kebudayaan Indonesia. Terlihat dengan banyak ditemukannya patung-patung dewa Brahma, Wisnu, Siwa, dan Buddha di kerajaan kerajaan seperti Kutai, Tarumanegara, dan Mataram KunoPeriode Tengah abad XI-XVI M Pada periode ini unsur Hindu-Buddha disebabkan karena unsur Hindu-Buddha melemah sedangkan unsur Indonesia kembali menonjol sehingga keberadaan ini menyebabkan munculnya sinkretisme perpaduan dua atau lebih aliran. Hal ini terlihat pada peninggalan zaman kerajaan Singasari, Kediri, dan Majapahit. Lahir aliran Tantrayana yaitusuatu aliran religi yang merupakan sinkretisme antara kepercayaan Indonesia asli dengan agama Hindu-Buddha. Dan begitu juga kebudayaan Hindu-Buddha memiliki hubungan dengan kebudayaan Indonesia Bangunan Bentuk-bentuk bangunan candi di Indonesia pada umumnya merupakan bentuk akulturasi antara unsur-unsur budaya Hindu-Buddha dengan unsur budaya Indonesia asli. Bangunan yang megah, patung-patung perwujudan dewa atau Buddha, serta bagian-bagian candi dan stupa adalah unsur unsur dari India. Bentuk candi-candi di Indonesia pada semestinya adalah punden berundak yang merupakan unsur Indonesia Rupa dan Ukir Masuknya pengaruh India juga membawa perkembangan dalam bidang seni rupa, seni pahat, dan seni ukir. Hal ini dapat dilihat relief atau seni ukir yang dipahatkan pada bagian dinding-dinding pagar langkan di Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat sang Buddha. Disekitar Sang Buddha terdapat lingkungan alam Indonesia seperti rumah punggung dan burung merpati. Relief binatang pada Candi Borobudur pada relief kala makara pada candi dibuat sangat indah, dasarnya adalah motif binatang dan Sastra dan Aksara Pengaruh India membawa perkembangan sastra di Indonesia. Seni sastra pada waktu itu ada yang berbentuk prosa dan ada yang berbentuk tembang puisi. Berdasarkan isinya, kesusasteraan dapat di kelompokan menjadi tiga, yaitu kitab hukum dan dan Pembahasan Candi adalah bangunan kuno yang terbuat dari batu sebagai tempat pemujaan, penyimpanan abu jenazah raja-raja, pendeta-pendeta Hindu dan Buddha pada zaman dulu apit candi yang letaknya diapit oleh candi lain dalam satu kompleks. bentar gapura atau pintu gerbang pura yang bentuknya menyerupai candi yang di belah dua dalam suatu kompleks percandian; induk candi besar yang dikelilingi sejumlah candi kecil kelir candi yang dibangun tepat di depan gerbang masuk menuju halaman kompleks percandia perwosa candi kecil yang menjadi pelengkap sebuah percandian perwara candi kecil yang mengelilingi candi induk. Candi selalu identik dengan sebuah kisah, di aman setiap candipasti memiliki kisah ataupun latar belakang pembangunannya. Di Indonesia terdapat banyak sekali sebuah candi yang tersebar, dimana hal ini terkait dengan keberadaan kerajaan-kerajaan kuno yang terdapat diberbagai wilayah nusantara. Setiap candi pasti akan memiliki ciri khas tersendiri karena setiap kerajaan pada zaman dahulu tentu saja akan memiliki kebudayaan dan kepercayaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut juga akan sangat mempengaruhi bentuk candi, atau bahkan mengenai fungsi dan aturan yang diberlakukan didalam candi. Sejarah Candi BorobudurSitus bersejarah ini pertama kali ditemukan pada tahun 1814 oleh Gubernur Jendral Sir Thomas Stamford Raffles yang waktu itu ia sedang berkunjung ke Semarang, diperjalanan ia menemukan batu krikil krikil berceceran dimana mana, karena ia tertarik dengan budaya Timur, lalu ia mencoba mengutus Perwira Zeni HC Comelius untuk ke bumi segoro. Ia melihat situ bersejarah ini telah hancur, kemudian ia dan pasukannya membangunnya kembali dan ditaruh ketempatnya. Borobudur merupakan sebuah candi yang terletak di Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Yang menjadi menjadi daya tarik warga lokal maupun internasional. Candi Borubudur melambangkan alam semesta, semesta dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu kamadhatu dunia keinginan, rupadhatu dunia berbentuk, arupadhatu dunia tak berbentuk. Masing-masing tingkatan reliefnya dibentang hingga tiga meter, jugaterdapat pigura sebanyak diselingi dengan bidang-bidang pemisah sebanyak Tingkat kamadhatu dan rupadhatu sebanyak dan 432 arca Buddha yang mengelilinginya hingga ke penjuru mata angin, dan terakhir terdapat 72 buah yang mengelilinginya dan stupa induk dipuncak. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran, melingkar pada dindingnya dengan panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Borubudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap di dunia. Stupa utama terbesar terletak ditengah, sekaligus memahkotai bangunan ini, dan dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca Buddha tengan duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra sikap tangan Dharmachakra mudra memutar roda dharma. Monumen ini merupakan model alam semesta dan di bangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsisebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan atau kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha. Tahapan dalam pembangunan Candi BorobudurTahap awal pada tahun 780 MasehiPembangunan awal dibangun diatas bukit, bagiannya diratakan dan tempat pembangunannya diperluas dalam pembuatannya para arsitek tidak menggunakan batu andesit, proses pembangunannya memakai tanah yang sudah dipadatkan dan dilapisi dengan struktur yang tersusun rapi. Struktur ini menyerupai cangkang dan membungkus bukit tanah. Pada awalnya candi dibentuk secara melingkar dan berbentuk punden kedua tahun 792 MasehiTerdapat dua tambahan yang berbentuk persegi yang mengeliling pondasi awal yang berbentuk berundak undak, disetiap undaknya ditambahkan stupa induk direnovasi hingga tiga perubahan, kemudian ditambahkan stupa kecil yang melingkarinya. Pada rancangan semula stupa induk ditaruh dibagian tengah karena stupa itu besar dan berat, dapat menggeser bangunanan yang dibawahnya, karena inti bangunan candi hanya tanah yang gempit bukit tanah dan dapat menimbulkan tanah longsor dan runtuh sehingga stupa induk diganti dengan teras-teras melingkar yang dihiasi stupa kecil. Stupa induk hanya satu yang berfungsi menopang dinding candi dan mencegah terakhir Tahun 824-833 Masehi Bagian candi semakin kecil, dan terdapat penambahan anak buah tangga, penambahan sebuah pagar dibagian luar, penyempurnaan relief yang diakibatkan letusan gunung merapi, pelebaran jalur untuk pejalan kaki, dan penambahan pintu masuk. Kesimpulan 1 2 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya Senibangunan indonesia yang menjadi dasar pembuatan candi adalah - 965296. yeuh yeuh 05.10.2014 Sejarah Sekolah Menengah Atas terjawab Seni bangunan indonesia yang menjadi dasar pembuatan candi adalah c.sarkofagus d.nekara e.punden berundak2 2 Lihat jawaban Iklan Iklan Nella99 bagaimana pembukuan al Qur'an pada masa sekarang Seni Bangunan Masa Hindu-Budha Pada Candi Pada awalnya, Hindu-Budha memasuki Indonesia melalui hubungan perdagangan dengan para pedagang Hindia. Pada masa ini juga disebut sebagai akhir dari masa prasejarah di Indonesia karena manusia pada jaman ini sudah ditemukan tulisan dan manusia mulai mengenal peradaban. Para pedagang ini tidak semata-mata hanya menjual barang dagangan mereka, tetapi juga menyebarkan agama dan budaya-budaya mereka, khususnya pada bidang kesenian. Baik pada seni rupa, sastra, maupun seni pada bangunan yang kemudian diterapkan dalam pembuatan candi. Candi dalam istilah bahasa Indonesia diartikan sebagai bangunan keagamaan tempat ibadah peninggalan masa lalu pada zaman Hindu-Budha. Selain sebagai tempat ibadah, candi juga diartikan sebagai replika tempat tinggal para dewa. Dan pesan-pesan yang ada di relief candi tak lepas dari unsur religi. Jika dilihat dari bentuknya, pada umumnya candi dibangun dengan model bangunan yang bertingkat-tingkat dan dibagi menjadi 3 bagian yaitu kaki candi, badan atau tubuh candi, dan atap candi. Bentuk dari bangunan candi itu sendiri juga menggunakan konsep geometri, misalnya pada kaki candi dan badan candi menggunakan atau menerapkan bentuk segi empat persegi, sedangkan pada atap candi biasanya menggunakan dasar lingkaran, tetapi ada juga candi yang memakai bentuk dasar lingkaran. Candi juga dihiasi dengan anak tangga yang berfungsi sebagai jalan dari kaki candi ke bagian atas candi. Selain itu, di setiap dinding candi juga selalu dihiasi oleh relief-relief. Ada perbedaan bangunan candi antara Hindu dan Budha. bentuk candi yang tinggi menjulang merupakan ciri khas candi Hindu. Contohnya candi prambanan, candi ini dirancang menyerupai rumah Siwa, yaitu mengikuti bentuk gunung suci Mahameru, tempat para dewa bersemayam. Sedangkan pada Candi budha. Contohnya borobudur, bentuk candi melambangkan bunga teratai yang diartikan sebagai singgasana Budha. Relief adalah seni pahat atau ukiran timbul yang memiliki nilai estetika, dan nilai religi. Karena selain memperindah candi dengan berbagai bentuk ukiran-ukirannya juga menceritakan tentang kehidupan masyarakat pada saat itu. Relief pada candi tidak langsung bertuliskan cerita, tetapi dalam bentuk simbol-simbol atau biasanya dalam bentuk makhluk hidup seperti manusia, hewan atau juga benda mati. Bagian-bagian pada candi a. Kaki candi kaki candi melambangkan kehidupan dunia bawah yang masih dikuasai oleh nafsu. Bagian kaki candi biasanya berbentuk persegi. b. Badan candi di bagian tubuh candi terdapat relung yang berada di dinding di dekat pintu masuk candi. Dan berisi arca-arca yang diletakkan di dalam relung-relung tersebut. Dan tubuh candi biasanya terdiri dari bilik-bilik yang juga berisi arca-arca. c. Atap candi Atap candi melambangkan dunia atas atau tempat para dewa. Atap pada candi umumnya berbentuk lingkaran besar pada dasarnya dan semakin ke atas semakin kecil, dan di dalamnya dibei rongga yang dimaksudkan sebagai tempat bersemayam para dewa. Fungsi Candi Candi berfungsi sebagai tempat pemakaman raja, dan juga digunakan sebagai tempat pemujaan roh nenek moyang tau pemujaan kepada dewa. Ini bisa dilihat dari adanya selasar. Selasar adalah lantai yang berada pada bagian tubuh candi. Selasar ini digunakan sebagai tempat melakukan pradaksina memutari candi searah jarum jam, ini dimaksudkan dengan membaca relief searah jarum jam, dipercaya mereka sedang berdoa kepada dewa. Selasar juga digunakan sebagai tempat melakukan prasawiya memutari candi berlawanan arah jarum jam, ini dimaksudkan dengan membaca relief berlawanan dengan arah jarum jam, mereka sedang mendoakan nenek moyang mereka. Gambar di samping adalah relief dari candi Borobudur yang menggambarkan Budha sedang digoda oleh Mara yang menari-nari diiringi gendang. Relief ini mengisahkan riwayat hidup Sang Budha seperti yang terdapat dalam kitab Lalitawistara. Demikian pula halnya dengan candi-candi Hindu. Relief-reliefnya yang juga mengambil kisah yang terdapat dalam kepercayaan Hindu seperti kisah Ramayana yang digambarkan melalui relief candi Prambanan ataupun candi Panataran. Gambar di samping adalah gambar arca Budha di candi borobudur, aarca Budha memiliki beberapa karakteristik, salah satunya yaitu Arca Budha memiliki telinga yang panjang sebagai gambaran kalau Budha itu Maha Mendengar. Ini adalah gambar atap candi arupadhatu borobudur, candi ini bercorak Budha dan dibangun oleh Raja Sam Ratunga pada 824 masehi. Arupadhatu berada pada tingkat atas dari candi borobudur. Bentuk bangunan Arupadhatu ini menggambarkan mengenai tingkatan Nirwana yang berarti surga. Pada tingkat ke-7 Candi Borobudur, terdapat 32 stupa. Pada tingkat selanjutnya yaitu tingkat ke-8, terdapat 24 stupa. Tingkat ke-9 memiliki 16 stupa, dan pada tingkatan paling atas dari Candi Borobudur terdapat 1 stupa yang terbesar diantara stupa- stupa yang lainnya. CandiPrambanan atau Candi RaraJonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnusebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. bentuk candi yang tinggi menjulang merupakan ciri khas candi Hindu. Relief candi prambanan menceritakan tentang kisah ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya. Senibangunan Indonesia yang menjadi dasar dalam pembuatan candi adalah Seni bangunan Indonesia yang menjadi dasar dalam pembuatan candi adalah Jawaban : Yaitu seni rupa terapan Sebarkan ini: Posting terkait: Tolong jawab pertanyaan di atas ya tiga tiga nya please, beserta cara nya juga ya thanks
ArticlePDF Available AbstractPeninggalan candi sering kali ditemukan dalam keadaan rusak. Namun di balik sisa-sisa reruntuhannya, masih terlihat jejak proses pembangunannya. Pada awalnya, seseorang yang menjadi pelaksana pembangunan candi Yajamana, bersama para pekerjanya Silpin, harus menghubungi Maha Brahma. Kemudian berdasarkan arahan Maha Brahma, mereka akan mencari lokasi yang tepat untuk membangun candi. Lokasi yang paling digemari adalah lahan dekat aliran sungai, khususnya daerah pertemuan dua sungai tempuran. Material yang digunakan untuk pembanguan candi banyak macamnya, namun yang paling sering ditemukan adalah batu andesit dan batu bata merah. Material batu bata merah biasanya dipergunakan pada candi di areal persawahan, sedangkan batu andesit biasanya pada candi di dekat sungai. Tulisan ini mendiskusikan perbedaan penggunaan material pembangun candi tersebut serta efeknya pada kekuatan dan keindahan bangunan candi. Studi ini menggunakan metode kualitatif. Pengambilan data dilakukan melalui studi literatur, baik terhadap buku, laporan, ataupun artikel serta film semi dokumenter tentang ekskavasi candi di beberapa tempat di Indonesia. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa penggunaan material candi di Indonesia, baik batu andesit maupun batu bata merah, sama-sama menghasilkan kekuatan dan keindahan dengan ciri khas masing-masing. Keduanya dapat digunakan secara terpisah maupun bersamaan, walaupun berbeda fungsi, tergantung lokasi candi. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Human Narratives September 2020, pp. 33-38 e-ISSN 2746-1130 33 PILIHAN MATERIAL BANGUNAN PADA CANDI Bambang Perkasa Alam Program Studi Arsitektur, Universitas Indraprasta PGRI Abstrak. Bangunan candi sering kali ditemukan dalam keadaan rusak. Namun di balik sisa reruntuhan bangunan tersebut, masih terlihat jejak proses pembangunannya. Material yang digunakan untuk membangun candi, yang paling sering dijumpai adalah batu andesit dan batu bata merah. Material batu bata merah biasanya dipergunakan pada candi yang ditemukan di areal persawahan dan jauh dari gunung berapi, sedangkan yang menggunakan batu andesit biasanya di dekat sungai, tidak jauh dari gunung berapi. Artikel ini mendiskusikan perbedaan penggunaan material pembangun candi tersebut serta faktor yang memengaruhinya. Studi ini menggunakan metode kualitatif. Pengambilan data dilakukan melalui studi kepustakaan, di mana sumber informasi utamanya adalah buku, laporan, artikel ilmiah, serta film semi dokumenter tentang ekskavasi candi di beberapa tempat di Indonesia. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa pilihan material pembangun candi tidak terkait secara langsung dengan periode pembangunannya, melainkan dengan ketersediaan bahan yang dipengaruhi oleh lokasi pembangunan, serta terkait dengan tingkat kesakralan bangunan yang hendak didirikan. Kata kunci batu andesit, batu bata, candi, material Abstract. Temple buildings were often found in a state of disrepair. However, behind the ruins of the building, there were still traces of the construction process. The materials used to build temples, which were most often encountered were andesite and red bricks. Red brick material was usually used in temples found in rice fields and far from volcanoes, while those that used andesite stones were usually near rivers, not far from volcanoes. This article discusses the differences in the use of the temple building materials and the factors that influence them. This study used qualitative methods. Data were collected through literature studies, where the main sources of information were books, reports, scientific articles, and semi-documentary films about the excavation of temples in several places in Indonesia. The results of the discussion showed that the choice of temple building materials was not directly related to the construction period, but with the availability of materials which is influenced by the construction location, as well as the sacred level of the building to be erected. Keywords andesite stone, red bricks, temple, material Correspondence author Bambang Perkasa Alam, Jakarta, Indonesia Material Bangunan pada Candi This work is licensed under a CC-BY-NC PENDAHULUAN Indonesia memiliki banyak candi yang tersebar di hampir seluruh Pulau Jawa dan Bali, serta sebagian Sumatera dan Kalimantan Soekmono, 1995. Secara umum, pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia, masyarakat menggunakan candi sebagai tempat pemujaan dewa dan dewi Soekmono, 1973 81. Akan tetapi, terdapat perbedaan fungsi candi pada agama Hindu dan Budha. Bagi agama Hindu, candi lebih merupakan penanda kekuasaan, sedangkan agama Budha menempatkan candi sebagai tempat peribadatan. Selain tempat ibadah, beberapa bangunan yang tidak dilengkapi simbol-simbol keagamaan juga tetap dinamakan candi, termasuk bangunan-bangunan yang dipergunakan sebagai pintu gapura, tempat pemandian, istana, penanda kekuasaan, ataupun sebagai makam para raja. Arsitektur bangunan candi dirancang dengan sentuhan seni yang tinggi. Kualitas estetis ornamen ukiran maupun seni pahat yang terdapat pada candi mengisyaratkan bahwa pada eranya, kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha memiliki arsitek-arsitek dengan keahlian yang mumpuni. Keberadaan relief yang biasa menghiasi bangunan candi juga menunjukkan bahwa pada masa itu keindahan seni telah mendapat perhatian dan menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat, khususnya di lingkungan kerajaan. Padanan untuk istilah candi dalam bahasa Inggris, temple,’ berasal dari bahasa Latin templum,’ yakni bangunan yang dikhususkan untuk ritual, kegiatan spiritual dan/atau keagamaan, seperti kegiatan doa dan pengorbanan Soekmono, 1973. Jika dikembalikan kepada pengertian dasarnya dalam bahasa Indonesia, maka istilah candi dapat mencakup pula semua bangunan bersejarah Hindu–Budha yang terdapat di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia Dumarcay. Candi memiliki rupa dan fungsi yang sangat beragam, dan dianggap sebagai tempat bersemayamnya satu atau beberapa dewa. Secara historis, keberadaan candi di Indonesia tidak terlepas dari sejarah dan perkembangan agama Hindu–Budha di Jawa sejak abad ke-7 sampai abad ke-14, serta di daerah Sumatera dan Kalimantan Supriatna, 2006. Bukan hanya rupa dan fungsinya, material pembuat candi pun bermacam-macam, antara lain batu granit, batu bata, dan batu kapur. Keragaman material inilah yang menjadi pokok diskusi dalam artikel ini. Apakah yang menjadi penyebab keragaman pemilihan material tersebut? Apa pula alasan penggunaan suatu material pada candi-candi tertentu? METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik kajian kepustakaan. Sumber data yang digunakan antara lain artikel jurnal ilmiah, majalah, buku, maupun artikel-artikel dari sumber daring di internet. Selain itu, data yang dibutuhkan juga diambil dari sumber berupa film tentang penggalian arkeologis di situs candi. Bambang Perkasa Alam © 2020 This work is licensed under a CC-BY-NC HASIL DAN PEMBAHASAN Candi dan Material Pembangunnya Bangunan candi sering kali dihubungkan dengan monumen sebagai tempat pendharmaan untuk memuliakan raja yang telah wafat. Namun demikian, candi bukanlah makam, melainkan bangunan kuil Soekmono, 1973 241. Selain merujuk pada bangunan tempat ibadah agama Hindu-Budha, kata candi juga dipergunakan untuk menyebut bangunan istana, pemandian/petirtaan, gapura, dan sebagainya Maryanto, 2007 8. Menurut Yudoseputro 1993 118, bangunan candi digunakan sebagai bangunan suci, namun di India sendiri, bangunan candi tidak digunakan sebagai tempat ibadah. Di India, bangunan kuil untuk menyelenggarakan upacara agama Hindu disebut vimanna rumah dewa atau ratha kendaraan dewa, sedangkan untuk ibadah agama Budha disebut stupa. Sebutan candi di Indonesia merujuk pada bangunan dengan bermacam-macam fungsi, yaitu kuil Hindu, stupa dan wihara Budha, pemandian, pintu gerbang gapura, ataupun candi sebagai bale kambang, pusat pengajaran agama, tempat menyimpan abu jenazah raja, tempat pemujaan atau bersemayam dewa. Walaupun fungsinya bermacam-macam Dumarcay candi diartikan juga sebagai replika rumah tinggal para dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung Mahameru Supriatna, 2006. Mengingat fungsinya yang tidak dapat dilepaskan dari kegiatan keagamaan Hindu dan Buddha pada masa lalu, sejarah pembangunan candi juga tak dapat dilepaskan dari sejarah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia sejak abad ke-5 sampai dengan abad ke-14. Bangunan candi banyak mendapat pengaruh dari India, misalnya dalam aspek teknik bangunan, gaya arsitektur, dan ornamen atau hiasan. Walaupun demikian, arsitektur candi di Indonesia mempunyai karakter tersendiri, baik dalam penggunaan bahan, teknik konstruksi, maupun corak dekorasinya. Hal ini karena pengaruh kebudayaan dan kondisi alam setempat juga sangat kuat. Dinding candi biasanya dihiasi relief tentang ajaran atau cerita tertentu. Aturan pembuatan bangunan gapura atau candi yang dipegang teguh oleh para seniman bangunan di India dimuat dalam sejumlah kitab keagamaan, antara lain Manasara dan Sipa Prakasa. Para seniman candi pada masa itu percaya bahwa ketentuan-ketentuan di dalam kitab-kitab keagamaan tersebut bersifat suci dan magis. Bangunan yang dibuat secara benar dan indah mempunyai arti tersendiri, baik bagi pembuatnya maupun penguasa yang memerintahkan pembangunannya, dan akan mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Oleh karena itu, ketika akan membuat gapura, persiapan dan perencanaan yang matang harus dilakukan, baik secara keagamaan maupun teknis. Salah satu bagian penting dalam perencanaan teknis adalah membuat sketsa yang benar agar dapat dihasilkan bangunan seperti yang diharapkan. Sketsa ini harus didasarkan pada aturan dan persyaratan tertentu terkait bentuk, ukuran, maupun posisi dan tata letaknya. Jika dalam proses pendirian bangunan terjadi penyimpangan atau keluar dari ketentuan-ketentuan di dalam kitab keagamaan, maka akan berakibat pada kesengsaraan besar bagi pembuat maupun masyarakat sekitarnya. Namun demikian, meski ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan tidak dapat diubah dengan semaunya, suatu kebudayaan, termasuk seni bangunan, akan selalu dipengaruhi oleh keadaan alam dan budaya setempat, serta pengaruh waktu. Material Bangunan pada Candi This work is licensed under a CC-BY-NC Pada awal proses pembangunan candi, seseorang yang menjadi pelaksana pembangunan Yajamana, bersama para pekerjanya Silpin, harus menghubungi Maha Brahma. Selanjutnya, berdasarkan arahan Maha Brahma, mereka akan mencari lokasi yang tepat untuk membangun candi. Lokasi pembangunan candi yang paling baik adalah dekat sungai, terutama pertemuan dua aliran sungai yang disebut sebagai tempuran. Pada umumnya, candi terbuat dari batu hitam yang disebut batu candi, yang sebenarnya adalah batu andesit. Andesit adalah suatu jenis batuan beku vulkanik ekstrusif. Batuan jenis ini sering dipergunakan pada bangunan-bangunan megalitik, candi dan piramida. Batuan ini terbentuk dari magma dengan temperatur antara 900– Celcius. Mineral-mineral yang terkandung di dalamnya bersifat mikroskopis, antara lain silika SiO2 sejumlah kisaran 52-63%, kuarsa sejumlah kisaran 20%, biotite, basalt, feltise, plagiocase feldspar, pyroxene clinopyroxene dan orthopyroxene, serta hornblende dengan persentase sangat kecil Hannigan. Batu andesit dapat dikatakan bernilai seni tinggi karena memiliki komposisi dan tekstur spesifik yang dapat dipahat. Batuan ini biasanya ditemukan pada lingkungan subduksi tektonik di daerah-daerah dengan aktivitas vulkanik yang tinggi, seperti di Majalengka, Cirebon, dan Tulung Agung. Motif batu andesit pada umumnya ada dua jenis, yaitu polos dan berbintik. Batu andesit polos terbentuk akibat sedimentasi, mempunyai tingkat kekerasan density sangat tinggi, dan porositas rendah, sehingga teksturnya halus sekali. Pada umumnya jenis batu ini berwarna gelap atau hitam. Oleh karena sifatnya yang keras dan porositasnya kecil, batu andesit tidak mudah kotor. Beberapa candi yang terletak di daerah Dieng maupun sekitaran Magelang seperti candi Borobudur dan Prambanan, menggunakan material batu andesit. Material lain yang juga kerap digunakan untuk membangun candi adalah batu bata, yang terbuat dari tanah liat yang dicetak, kemudian dibakar. Batu ini dapat menyerap panas dengan baik. Bata merah sudah sangat umum digunakan sebagai material bangunan di Indonesia, dari zaman dulu hingga saat ini. Tanah yang digunakan untuk pembuatan bata bukanlah sembarang tanah. Tanah tersebut harus yang agak liat sehingga bisa menyatu saat proses pencetakan. Faktor yang Melatarbelakangi Pilihan Material Candi Bata yang dipakai di Indonesia adalah jenis bata bakar, yang baru hadir pada permulaan awal sejarah Nusantara bersamaan dengan masuknya budaya Hindu-Budha dari India ke Nusantara. Sebagian pendapat menyebutkan, penggunaan batu bata lebih muda daripada material batu andesit. Pendapat ini berpangkal dari kategorisasi seni bangun candi ke dalam dua langgam gaya seni, sebagaimana dikemukakan oleh Soekmono 1973 81, yakni candi berlanggam Jawa Tengahan yang dibangun pada periode antara abad ke-7 sampai abad ke-11 Masehi, dan candi berlanggam Jawa Timuran yang dibangun pada periode antara abad ke-13 sampai abar ke-16 Masehi. Di antara keduanya, terdapat langgam transisi yang dibangun antara abad ke-12 sampai abad ke-13 Masehi Soekmono, 1973 81. Pada kategorisasi ini, candi berlanggam seni Jawa Timuran dinyatakan sebagai berbahan bata. Padahal, bahan material yang digunakan, apakah bata atau batu, tidaklah terkait langsung dengan langgam seni ataupun lapis masa. Pilihan material ini lebih dipengaruhi oleh ketersediaan jenis material di lingkungan sekitar tempat pembangunan candi, dan kesakralan bangunan yang bersangkutan. Pada dasarnya, Bambang Perkasa Alam © 2020 This work is licensed under a CC-BY-NC sebagai bangunan sakral, material yang digunakan dalam pembangunan candi harus kuat dan tahan lama, seperti batu. Batu kali andesit, batu kapur, atau batu padas keras, yang dalam bahasa Jawa disebut curing, tidak selalu tersedia dalam jumlah cukup di lingkungan sekitar pembangunan. Oleh karena itu, penggunaan material lain tidak dapat dihindari, antara lain batu bata. Batu bata yang digunakan biasanya adalah bata berukuran besar dan tebal. Kualitas pembakaran yang matang akan membuat batu bata tersebut tahan usia. Bangunan candi-candi yang menggunakan material batu bata umumnya berada jauh dari areal gunung berapi. Pada candi-candi ini, material yang kemudian kerap digunakan, di samping batu bata, adalah kayu keras untuk bagian dinding dan atap. Kalaupun batu dipakai, umumnya hanya untuk bagian tertentu. Misalnya, sebagai media pahat bagi ragam hias candi, batu pengunci key stone, arca dewa, dan sebagainya. Untuk bangunan-bangunan profan, digunakan batu bata untuk komponen pondasi, gapura, pagar, dan sebagainya, sedangkan pada bagian lain digunakan bahan-bahan yang tidak tahan usia, seperti kayu, bambu, atau ilalang. Akibatnya, bagian bangunan-bangunan ini kini tidak lagi tersisa jejaknya. Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa penggunaan material batu bata pada candi juga berusia tua, yakni sekitar abad ke-6 sampai ke-10 Masehi. Periode ini relatif sezaman dengan Kerajaan Tarumanegara. Dari periode ini ditemukan jejak arsitektur berlatar keagamaan Budha Mahayana yang berada di situs Batuhaya, Kabupaten Krawang, Jawa Barat. Di situs tersebut ditemukan hampir dua puluh reruntuhan bangunan batu bata, yang tersebar pada areal persawahan seluas 5 km2. Situs lain yang bisa dikatakan sezaman, yang terbuat dari batu bata adalah kompleks percandian Hindu pada situs Cibuaya di Pedes, Krawang. Selain itu, ditemukan juga reruntuhan candi dari batu bata di Kampung Sukamaju, Desa Sukajaya, Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis, yang dinamai Candi Binangun. Jejak bangunan candi berbahan batu bata didapati pula di sekitar candi Borobudur, yang berupa candi-candi bukur candi kecil, dari sekitar abad ke-8 Masehi. Salah satu di antaranya adalah Candi Banon Attewell & Farmer, 1976. SIMPULAN Tidak semua candi menggunakan batu andesit sebagai bahan pembangunnya. Batu bata juga digunakan sebagai material pembangun pada beberapa candi, khususnya di daerah Jawa Timur. Penggunaan Batu andesit banyak digunakan pada candi yang dibangun di daerah yang dekat dengan pegunungan, sehingga tersedia material batu andesit yang melimpah, terutama di daerah aliran sungai. Adapun batu bata banyak digunakan pada candi yang letaknya jauh dari gunung berapi. Pada daerah berdirinya candi-candi ini umumnya berlimpah material pembentuk batu bata, yaitu tanah liat. Penggunaan kedua material secara bersamaan pun bisa terjadi, yakni untuk fungsi bangunan berbeda, di mana candi menggunakan batu andesit, sedangkan bangunan penunjang menggunakan batu bata. Dari hasil pembahasan diperoleh pemahaman bahwa pilihan penggunaan material pembangun, apakah batu andesit atau batu bata, tidak berhubungan secara langsung dengan periodesasi pembangunan candi, melainkan dengan ketersediaan bahan dan kesakralan bangunan. Material Bangunan pada Candi This work is licensed under a CC-BY-NC DAFTAR PUSTAKA Attewell, P. B., & Farmer, T. W. Principles of Engineering Geology. John Wiley & Sons, Inc., 1976. Dumarçay, Jacques. Candi Sewu dan Arsitektur Bangunan Agama Budha di Jawa Tengah. Kepustakaan Populer Gramedia, 2007. Hannigan, Tim. A Brief History of Indonesia Sultans, Spices, and Tsunamis, the Incredible Story of Southeast Asia's Largest Nation. TUTTLE Publishing, 2015. Maryanto, Daniel A. Seri Fakta dan Rahasia di Balik Candi Mengenal Candi. Citra Aji Parama, 2007. Soekmono, R. The Javanese Candi, Function and Meaning. E. J. Brill, 1995. -. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Kanisius, 1973. Supriatna, Nana. Sejarah. PT Grafindo Media Pratama, 2006. Yudoseputro, Wiyoso. Pengantar Wawasan Seni Budaya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993. ... Sementara itu untuk candi yang berada di daerah Jawa Tengah hampir semua menggunakan batuan Andesit sebagai bahan utama pembangunan candi dan juga ada sedikit yang menggunakan batu putih atau batu kapur. Candi pada umumnya dalam proses pembangunan tidak berhubungan dengan periode waktu ataupun ketersediaan bahan material tetapi lebih dipengaruhi lokasi pembangunan Alam, 2020. ...Jessica Aprilia PoernamaHeristama Anugerah PutraIndonesia merupakan negara yang memiliki begitu banyak warisan budaya yang terlahir dari masa prasejarah. Peninggalan secara fisik yang ada saat ini banyak berupa bangunan candi. Candi sendiri memiliki fungsi utama pada zamannya sebagai tempat persembahyangan kepada dewa ataupun sebagai istana suatu kerajaan. Candi yang ada berasal dari peradaban kelahiran dan penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara. Kedua agama ini menjadi agama tertua dan yang pertama kali masuk ke Indonesia. Candi di Indonesia sendiri paling banyak berada di Pulau Jawa tepatnya di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Lokasi tempat terbangun dan berdirinya candi dikedua provinsi ini disesuaikan dengan jarak sumber untuk material utamanya. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan geografis tempat berdirinya lokasi candi-candi tersebut yang berbeda-beda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan komparatif membandingkan data yang didapat antara candi yang berada di Jawa Timur dan Jawa Tengah didasarkan letak geografisnya. Hasil yang diharapkan yaitu dapat mengetahui lebih jelas penggunaan material batuan candi yang didasarkan pada letak, jarak dan kondisi geografis dari sumber utama bahan batuannya. Umumnya jenis material utama batuan yang digunakan untuk pembangunan candi dikedua provinsi ini dikaitkan karena kedekatan dengan sumber material dan lokasi terbangunnya candi.... Sementara itu untuk candi yang berada di daerah Jawa Tengah hampir semua menggunakan batuan Andesit sebagai bahan utama pembangunan candi dan juga ada sedikit yang menggunakan batu putih atau batu kapur. Candi pada umumnya dalam proses pembangunan tidak berhubungan dengan periode waktu ataupun ketersediaan bahan material tetapi lebih dipengaruhi lokasi pembangunan Alam, 2020. ...Jessica Aprilia PoernamaHeristama Anugerah PutraIndonesia merupakan negara yang memiliki begitu banyak warisan budaya yang terlahir dari masa prasejarah. Peninggalan secara fisik yang ada saat ini banyak berupa bangunan candi. Candi sendiri memiliki fungsi utama pada zamannya sebagai tempat persembahyangan kepada dewa ataupun sebagai istana suatu kerajaan. Candi yang ada berasal dari peradaban kelahiran dan penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara. Kedua agama ini menjadi agama tertua dan yang pertama kali masuk ke Indonesia. Candi di Indonesia sendiri paling banyak berada di Pulau Jawa tepatnya di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Lokasi tempat terbangun dan berdirinya candi dikedua provinsi ini disesuaikan dengan jarak sumber untuk material utamanya. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan geografis tempat berdirinya lokasi candi-candi tersebut yang berbeda-beda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan komparatif membandingkan data yang didapat antara candi yang berada di Jawa Timur dan Jawa Tengah didasarkan letak geografisnya. Hasil yang diharapkan yaitu dapat mengetahui lebih jelas penggunaan material batuan candi yang didasarkan pada letak, jarak dan kondisi geografis dari sumber utama bahan batuannya. Umumnya jenis material utama batuan yang digunakan untuk pembangunan candi dikedua provinsi ini dikaitkan karena kedekatan dengan sumber material dan lokasi terbangunnya Putu Sathya DharmaGusti Ayu Made SuartikaCandi bentar is a gate or the main door to enter a specific area, such as temple and palace in Bali. However, in the current situation, it can be found in many entries points to various premises, including a border between areas, a house, and public facilities. Puru Sada Temple, one of Kahyangan Jagat Temples located in Badung Regency of Bali Province, has a candi bentar, which at first glance similar to that of the Wringin Lawang Temple - a legacy of the Majapahit Kingdom of East Java. In terms of scale, however, the size of the Puru Sada Temple’s candi bentar is smaller. The purpose of this study is to discuss the visual characters of candi bentar in places that functioned for worship by taking Puru Sada Temple as its case study. The study used a descriptive qualitative approach. Its analysis is supported by relevant views offered by both Yudoseputro 2008 and Ching 1991. This study finds that intimacy has been a dominant visual character supported by the existence of sacred ornaments that are considered as guarding figures. Keywords visual character; candi bentar; gate; Puru Sada Temple Abstrak Candi bentar adalah gerbang atau pintu utama dalam memasuki area khusus seperti pura maupun puri di Bali. Namun saat ini candi bentar dapat ditemukan di berbagai tempat seperti perbatasan daerah, rumah tinggal, dan fasilitas umum. Pura Puru Sada termasuk dalam Pura Kahyangan Jagat berlokasi di Badung memiliki candi bentar yang sekilas mirip dengan Gapura Wringin Lawang peninggalan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Namun ukuran candi bentar Pura Puru Sada lebih kecil. Tujuan penelitian ini adalah membahas karakter visual candi bentar di tempat suci dengan mengambil Pura Puru Sada sebagai studi kasus. Penelitian ini menggunakan pedekatan kualitatif deskriptif. Dianalisa dengan teori relevan yang ditawarkan oleh Yudoseputro 2008 dan Ching 1991. Studi ini menemukan jika intimasi merupakan karakter visual dominan yang didukung dengan adanya ornamen sakral sebagai sosok penjaga. Kata kunci karakter visual; candi bentar; gapura; Pura Puru SadaHudaidahElsabelaClassical ruins in South Sumatra are often engrossed in the existence of the Srivijaya kingdom in the past. This is because the reign of Srivijaya lasted a long time from the VII century to the XIV century AD. One of the classical or Hindu influences is the Bumiayu temple in the village of Bumiayu in the Tanah Abang sub-district. The Bumiayu temple complex is a joint temple complex between Buddhists and Hindus. Based on these findings, it is interesting to study how temples for Hindu worship can coexist with Buddhist temples. The purpose is to describe the Hindu place of worship during the Srivijayan era at Bumiayu Temple. This research method uses a historical methodology. The conclusion that can be drawn is that the Bumiayu temple is a place of relics and worship of gods as well as a place of worship for the ancestors of Hindus during the Sriwijaya B. Attewell Isaac FarmerThis book discusses basic principles as well as the practical applications of geological survey and analysis. Topics covered include the mechanical and physical response of rocks, rock masses and soils to changes in environmental conditions, and the principles of groundwater flow. The core of the book deals with the collection of geological and technical data, its subsequent analysis, and application to design. The combination of rigorous and detailed discussion of theory and well-illustrated examples made the book an indispensable reference source and ideal course book for both geologists and civil Brief History of Indonesia Sultans, Spices, and Tsunamis, the Incredible Story of Southeast Asia's Largest NationTim HanniganHannigan, Tim. A Brief History of Indonesia Sultans, Spices, and Tsunamis, the Incredible Story of Southeast Asia's Largest Nation. TUTTLE Publishing, SoekmonoThe JavaneseCandiSoekmono, R. The Javanese Candi, Function and Meaning. E. J. Brill, 1995. -. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Kanisius, Grafindo Media PratamaNana SupriatnaSejarahSupriatna, Nana. Sejarah. PT Grafindo Media Pratama, 2006.
Candiadalah salah satu peninggalan sejarah berbentuk bangunan yang cukup banyak tersebar di penjuru Indonesia. Salah satunya Candi Brahu yang berada di Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini terletak di situs Trowulan yang terkenal sebagai bekas ibu kota Kerajaan Majapahit. Pada kesempatan kali ini, Museum Nusantara akan membahas tentang sejarah - Candi Kidal adalah candi peninggalan agama Hindu yang terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Candi peninggalan Kerajaan Singasari ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati. Anusapati adalah putra Ken Dedes dan Tunggul Ametung yang menjadi raja kedua Singasari periode para sejarawan, candi ini disebut sebagai candi pemujaan paling tua di Jawa Timur, karena raja-raja sebelumnya hanya meninggalkan petirtaan atau pemandian. Baca juga Raja-Raja Kerajaan Singasari Sejarah Menurut Pararton, Candi Kidal dibangun pada 1248, setelah Cradha atau upacara pemakaman Raja pembangunan candi ini adalah untuk mendarmakan Anusapati, agar mendapat kemuliaan sebagai Syiwa Mahadewa. Pembangunan Candi Kidal diperkirakan selesai pada sekitar tahun 1260. Setelah terkubur lama, Sir Thomas Stamford Raffles menemukan Candi Kidal pada awal abad ke-11 ketika ditugaskan di Jawa. Bangunan candi ini pernah dilakukan pemugaran pada tahun 1990-an untuk mengembalikan keindahannya. Dulunya, fungsi Candi Kidal adalah sebagai tempat persemayaman Raja Anusapati dan sebagai tempat pemujaan. Baca juga Kerajaan Singasari Letak, Silsilah, Kehidupan Sosial, dan Peninggalan 4i4uZ89. 338 203 45 258 53 483 315 478 12

seni bangunan indonesia yang menjadi dasar dalam pembuatan candi adalah